Menguak Jejak Sejarah Perahu Bidar: Tradisi Legendaris dari Sungai Musi Palembang

SUMSELTIME |

Palembang, kota yang dijuluki “Venice dari Timur,” tak bisa dilepaskan dari denyut nadi Sungai Musi yang membelahnya. Sungai ini bukan sekadar jalur transportasi, melainkan urat nadi kehidupan dan saksi bisu berbagai peristiwa sejarah. Salah satu tradisi paling ikonis yang lahir dan berkembang di tepiaya adalah perlombaan Perahu Bidar. Lebih dari sekadar ajang adu kecepatan, Perahu Bidar adalah warisan budaya yang kaya akailai sejarah, simbol keperkasaan, dan semangat kebersamaan masyarakat Palembang.

Sejarah Awal Perahu Bidar di Palembang

Sejarah Perahu Bidar di Palembang memiliki akar yang dalam, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Penggunaan perahu panjang sebagai alat transportasi dan sarana perang sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, yang terkenal dengan kekuatan maritimnya. Namun, tradisi perlombaan Perahu Bidar seperti yang kita kenal sekarang diperkirakan mulai berkembang pesat pada masa Kesultanan Palembang Darussalam.

Pada awalnya, perahu-perahu ini tidak hanya digunakan untuk perang, tetapi juga untuk upacara adat atau penyambutan tamu-tamu penting Kesultanan. Setelah masa Kesultanan berakhir dan Palembang berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda, perlombaan perahu ini mulai diresmikan sebagai bagian dari perayaan-perayaan tertentu, seperti ulang tahun Ratu Wilhelmina atau peringatan hari besar laiya. Belanda melihat potensi hiburan dan keramaian yang bisa diciptakan dari tradisi ini.

Puncak popularitas dan formalisasi perlombaan Perahu Bidar modern terjadi setelah kemerdekaan Indonesia. Pemerintah Indonesia, khususnya Pemerintah Daerah Sumatera Selatan, menjadikan perlombaan ini sebagai salah satu agenda rutin untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus. Ini adalah momen di mana Perahu Bidar bertransformasi dari sekadar hiburan menjadi simbol semangat perjuangan, persatuan, dan kebanggaaasional yang diwujudkan melalui semangat olahraga.

Anatomi dan Filosofi Perahu Bidar

Perahu Bidar memiliki karakteristik unik yang membedakaya dari perahu lain. Perahu ini umumnya terbuat dari satu batang pohon utuh, seringkali jenis kayu meranti atau ulin, yang diukir dan dilubangi. Panjangnya bisa mencapai 20-30 meter dengan lebar yang relatif sempit, dirancang khusus untuk kecepatan. Setiap perahu dapat menampung antara 30 hingga 50 pendayung, ditambah seorang juru mudi dan seorang pemberi aba-aba atau penabuh gendang di bagian depan.

Aspek artistik Perahu Bidar juga sangat menonjol. Bagian depan perahu sering dihiasi dengan ukiran kepala naga, kepala burung garuda, atau motif hewan mitologi laiya yang diberi warna-warna cerah dan mencolok. Hiasan ini tidak hanya berfungsi sebagai estetika, tetapi juga memiliki makna filosofis: melambangkan kekuatan, keberanian, dan semangat juang.

Filosofi utama yang terkandung dalam Perahu Bidar adalah:

  • Kekompakan dan Kebersamaan: Puluhan pendayung harus mendayung serentak dalam irama yang sama untuk mencapai kecepatan maksimal. Ini melambangkan pentingnya kerja sama dan sinergi dalam mencapai tujuan bersama.
  • Keperkasaan dan Kecepatan: Bentuk perahu yang ramping dan jumlah pendayung yang banyak menunjukkan orientasi pada kecepatan dan kekuatan, mencerminkan semangat kompetisi yang sehat.
  • Keterikatan dengan Alam: Bahan dasar perahu dari kayu utuh menunjukkan hubungan erat masyarakat Palembang dengan kekayaan alam dan lingkungan sekitarnya, khususnya hutan dan sungai.

Perlombaan Perahu Bidar: Sebuah Perayaan Budaya

Perlombaan Perahu Bidar di Sungai Musi adalah salah satu daya tarik utama Palembang, khususnya saat perayaan HUT RI. Ribuan masyarakat dari berbagai pelosok Palembang dan sekitarnya membanjiri tepian Sungai Musi, Jembatan Ampera, hingga menumpang di perahu-perahu kecil, untuk menyaksikan langsung adu kekuatan dan strategi ini.

Suasana perlombaan sangat meriah. Sorak sorai penonton membahana di sepanjang sungai, mendukung tim jagoan mereka. Tim-tim peserta, yang berasal dari berbagai instansi, perusahaan, hingga komunitas, telah berlatih keras jauh-jauh hari. Mereka tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga koordinasi, stamina, dan semangat pantang menyerah.

Perlombaan ini bukan hanya ajang olahraga, tetapi juga festival budaya. Para pendayung sering kali mengenakan seragam khusus yang warna-warni, menambah semarak pemandangan di Sungai Musi. Event ini juga menjadi magnet bagi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, yang ingin merasakan langsung denyut nadi kebudayaan Palembang.

Perahu Bidar sebagai Simbol Palembang

Seiring berjalaya waktu, Perahu Bidar telah menjadi lebih dari sekadar perahu atau perlombaan; ia adalah simbol. Simbol dari identitas Palembang yang tak terpisahkan dari Sungai Musi. Ia melambangkan:

  • Spirit Sungai Musi: Kehidupan masyarakat Palembang yang selalu terhubung dengan sungai, dari perdagangan hingga budaya.
  • Semangat Kebersamaan: Gotong royong dan solidaritas yang tercermin dalam setiap kayuhan pendayung.
  • Warisan Budaya yang Lestari: Komitmen Palembang untuk menjaga dan mengembangkan tradisi nenek moyang.
  • Daya Tarik Wisata: Magnet yang menarik perhatian dunia kepada keunikan budaya dan keindahan Palembang.

Kesimpulan

Sejarah Perahu Bidar di Palembang adalah cerminan dari perjalanan panjang sebuah peradaban yang tumbuh dan berkembang di tepian sungai. Dari alat transportasi dan perang di masa lampau, hingga menjadi ikon perlombaan tahunan yang memukau, Perahu Bidar terus berlayar melintasi zaman, membawa serta nilai-nilai luhur seperti kebersamaan, kekuatan, dan semangat juang.

Sebagai salah satu warisan budaya tak benda yang paling berharga, Perahu Bidar bukan hanya bagian dari masa lalu Palembang, tetapi juga bagian tak terpisahkan dari masa kini dan masa depan kota ini. Melalui pelestarian dan pengembangan tradisi ini, Palembang tidak hanya merayakan sejarahnya sendiri, tetapi juga menegaskan identitasnya sebagai kota maritim yang kaya akan budaya dan kebanggaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *